Hukum Perdata
Istilah dan Pengertian
Hukum Perdata
Istilah hukum perdata
pertama kali diperkenalkan oleh Prof. Djojodiguno sebagai teremahan dari
burgerlijkrecht pada masa penduduka jepang. Di samping istilah itu, sinonim
hukum perdata adalah civielrecht dan privatrecht.
Para ahli memberikan
batasan hukum perdata, seperti berikut. Van Dunne mengartikan hukum perdata,
khususnya pada abad ke -19 adalah:
“suatu peraturan yang
mengatur tentang hal-hal yang sangat ecensial bagi kebebasan individu, seperti
orang dan keluarganya, hak milik dan perikatan. Sedangkan hukum public
memberikan jaminan yang minimal bagi kehidupan pribadi”. Pendapat lain yaitu
Vollmar, dia mengartikan hukum perdata adalah:
“aturan-aturan atau norma-norma yang memberikan pembatasan dan oleh
karenanya memberikan perlindungan pada kepentingan prseorangan dalam
perbandingan yang tepat antara kepentingan yang satu dengna kepentingan yang
lain dari orang-orang dalam suatu masyarakat tertentu terutama yang mengenai
hubungan keluarga dan hubungan lalu lintas”
Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa pengertian hukum perdata yang dipaparkan para ahli di atas,
kajian utamnya pada pengaturan tentang perlindungan antara orang yang satu
degan orang lain, akan tetapi di dalam ilmu hukum subyek hukum bukan hanya
orang tetapi badan hukum juga termasuk subyek hukum, jadi untuk pengertian yang
lebih sempurna yaitu keseluruhan kaidah-kaidah hukum(baik tertulis maupun tidak
tertulis) yang mengatur hubungan antara subjek hukum satu dengan yang lain
dalam hubungan kekeluargaan dan di dalam pergaulan kemasyarakatan.
Di dalam hukum perdata terdapat 2 kaidah,
yaitu:
1.
Kaidah tertulis
Kaidah hukum perdata
tertulis adalah kaidah-kaidah hukum perdata yang terdapat di dalam peraturan
perundang-undangan, traktat, dan yurisprudensi.
2.
Kaidah tidak tertulis
Kaidah hukum perdata
tidak tertulis adalah kaidah-kaidah hukum perdata yang timbul, tumbuh, dan
berkembang dalam praktek kehidupan masyarakat (kebiasaan)
Subjek hukum dibedakan menjadi 2 macam,
yaitu:
1.
Manusia
Manusia sama dengan orang
karena manusia mempunyai hak-hak subjektif dan kewenangan hukum.
2.
Badan hukum
Badan hukum adalah
kumpulan orang-orang yang mempunyai tujuan tertentu, harta kekayaan, serta hak
dan kewajiban.
Subtansi yang diatur dalam hukum perdata
antara lain:
1.
Hubungan keluarga
Dalam hubungan keluarga akan menimbulkan
hukum tentang orang dan hukum keluarga.
2.
Pergaulan masyarakat
Dalam hubungan pergaulan masyarakat akan
menimbulakan hukum harta kekayaan, hukum perikatan, dan hukum waris.
Dari berbagai paparan tentang hukum
perdata di atas, dapat di temukan unsur-unsurnya yaitu:
1.
Adanya kaidah hukum
2.
Mengatur hubungan antara subjek hukum satu
dengan yang lain.
3.
Bidang hukum yang diatur dalam hukum
perdata meliputi hukum orang, hukum keluarga, hukum benda, hukum waris, hukum
perikatan, serta hukum pembuktia dan kadaluarsa.
HUKUM PERJANJIAN
Perjanjian adalah suatu
perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang
lain atau lebih.Pengertian ini mengundang kritik dari banyak ahli hukum, karena
menimbulkan penafsiran bahwa perjanjian tersebut yang bersifat sepihak, padahal
dalam perjanjian harus terdapat interaksi aktif yang bersifat timbal balik
dikedua belah pihak untuk melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing. Untuk
itu secara sederhana perjanjian dapat dirumuskan sebagai sebuah perbuatan
dimana kedua belah pihak sepakat untuk saling mengikatkan diri satu sama lain.
Menurut Pasal 1320 KUHP perdata
perjanjian harus memenuhi 4 syarat agar dapat memiliki kekuatan hukum dan
mengikat para pihak yang membuatnya. Hal tersebut adalah:
1.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Syarat
pertama merupakan awal dari terbentuknya perjanjian, yaitu adanya kesepakatan
antara para pihak tentang isi perjanjian yang akan mereka laksanakan. Oleh
karena itu timbulnya kata sepakat tidak boleh disebabkan oleh tiga hal, yaitu
adanya unsur paksaan, penipuan, dan kekeliruan. Apabila perjanjian tersebut
dibuat berdasarkan adanya paksaan dari salah satu pihak, maka perjanjian
tersebut dapat dibatalkan.
2.
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Pada
saat penyusunan kontrak, para pihak khususnya manusia secara hukum telah dewasa
atau cakap berbuat atau belum dewasa tetapi ada walinya. Di dalam KUH Perdata
yang disebut pihak yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah
orang-orang yang belum dewasa dan mereka
yang berada dibawah pengampunan.
3.
Mengenai suatu hal tertentu
Secara
yuridis suatu perjanjian harus mengenai hal tertentu yang telah disetujui.
Suatu hal tertentu disini adalah objek perjanjian dan isi perjanjian. Setiap
perjanjian harus memiliki objek tertentu, jelas, dan tegas. Dalam perjanjian
penilaian, maka objek yang akan dinilai haruslah jelas dan ada, sehingga tidak
mengira-ngira.
4.
Suatu sebab yang halal
Setiap perjanjian
yang dibuat para pihak tidak boleh bertentangan dengan undang-undang,
ketertiban umum, dan kesusilaan. Dalam akta perjanjian sebab dari perjanjian
dapat dilihat pada bagian setelah komparasi, dengan syarat pertama dan kedua
disebut syarat subjektif, yaitu syarat mengenai orang-orang atau subjek hukum
yang mengadakan perjanjian, apabila kedua syarat ini dilanggar, maka perjanjian
tersebut dapat diminta pembatalan. Juga syarat ketiga dan keempat merupakan
syarat objektif, yaitu mengenai objek perjanjian dan isi perjanjian, apabila
syarat tersebut dilanggar, maka perjanjian tersebut batal demi hukum.
Namun,apabila perjanjian telah memenuhi unsur-unsur sahnya suatu perjanjian dan
asas-asas perjanjian, maka perjanjian tersebut sah dan dapat dijalankan.
Asas-asas perjanjian
Asas-asas perjanjian
diatur dalam KUHP perdata, yang sedikitnya terdapat 5 asas yang perlu mendapat
perhatian dalam membuat perjanjian:
1.
Asas kebebasan berkontrak (freedom of
contract).
2.
Asas konsensualisme (concsensualism).
3.
Asas kepastian hukum (pacta sunt
servanda).
4.
Asas itikad baik (good faith).
5.
Asas kepribadian (personality).
1. Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of
contract)
Setiap orang dapat secara
bebas membuat perjanjian selama memenuhi syarat sahnya perjanjian dan tidak melanggar
hukum, kesusilaan, serta ketertiban umum. Menurut Pasal 1338 ayat (1) KUH
Perdata, “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya.” “Semua perjanjian…” berarti perjanjian apapun,
diantara siapapun. Tapi kebebasan itu tetap ada batasnya, yaitu selama
kebebasan itu tetap berada di dalam batas-batas persyaratannya, serta tidak
melanggar hukum (undang-undang), kesusilaan (pornografi, pornoaksi) dan
ketertiban umum (misalnya perjanjian membuat provokasi kerusuhan).
2. Asas Kepastian Hukum (Pacta Sunt
Servanda)
Jika terjadi sengketa
dalam pelaksanaan perjanjian, misalnya salah satu pihak ingkar janji
(wanprestasi), maka hakim dengan keputusannya dapat memaksa agar pihak yang
melanggar itu melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai perjanjian – bahkan
hakim dapat memerintahkan pihak yang lain membayar ganti rugi. Putusan
pengadilan itu merupakan jaminan bahwa hak dan kewajiban para pihak dalam
perjanjian memiliki kepastian hukum – secara pasti memiliki perlindungan hukum.
3. Asas Konsensualisme (concensualism)
Asas konsensualisme
berarti kesepakatan (consensus), yaitu pada dasarnya perjanjian sudah lahir
sejak detik tercapainya kata sepakat. Perjanjian telah mengikat begitu kata
sepakat dinyatakan dan diucapkan, sehingga sebenarnya tidak perlu lagi
formalitas tertentu. Pengecualian terhadap prinsip ini adalah dalam hal
undang-undang memberikan syarat formalitas tertentu terhadap suatu perjanjian,
misalkan syarat harus tertulis – contoh, jual beli tanah merupakan kesepakatan
yang harus dibuat secara tertulis dengan akta otentik Notaris.
4. Asas Itikad Baik (good faith/tegoeder
trouw)
Itikad baik berarti
keadaan batin para pihak dalam membuat dan melaksanakan perjanjian harus jujur,
terbuka, dan saling percaya. Keadaan batin para pihak itu tidak boleh dicemari
oleh maksud-maksud untuk melakukan tipu daya atau menutup-nutupi keadaan
sebenarnya.
5. Asas Kepribadian (personality)
Asas kepribadian berarti
isi perjanjian hanya mengikat para pihak secara personal – tidak mengikat pihak-pihak
lain yang tidak memberikan kesepakatannya. Seseorang hanya dapat mewakili
dirinya sendiri dan tidak dapat mewakili orang lain dalam membuat perjanjian.
Perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang
membuatnya.
Berakhirnya
perjanjian
1.
Sesuai dengan ketentuan perjanjian itu
sendiri.
2.
Atas persetujuan kemudian yang dituangkan
dalam perjanjiantersendiri.
3.
Akibat peristiwa-peristiwa tertentu yaitu
tidak dilaksanakannya perjanjian, perubahan kendaraan yang bersifat mendasar
pada negara anggota, timbulnya norma hukum internasional yang baru, perang.
Kesimpulan
Dari apa yang di
terangkan diatas dapat kita lihat bahwa perikatan adalah suatu pengertian
abstrak, sedangkan perjanjian adalah suatu hal yang kongkrit atau suatu
peristiwa. Perikatan yang lahir dari perjanjian memang di kehendaki oleh dua
orang pihak yang membuat suatu perjanjian yang mereka buat merupakan
undang-undang bagi mereka untuk dilaksanakan.
HUKUM DAGANG
Hukum dagang ialah hukum
yang mengatur tingkah laku manusia yang turut melakukan perdagangan untuk
memperoleh keuntungan . atau hukum yang mengatur hubungan hukum antara manusia
dan badan-badan hukum satu sama lainnya dalam lapangan perdagangan . Sistem
hukum dagang menurut arti luas dibagi 2 :
1.
Tertulis.
2.
Tidak tertulis tentang aturan perdagangan.
Hukum dagang ialah
aturan-aturan hukum yang mengatur hubungan orang yang satu dengan yang lainnya,
khusunya dalam perniagaan. Hukum dagang adalah hukum perdata khusus. Pada
mulanya kaidah hukum yang kita kenal sebagi hukum dagang saat ini mulai muncul
dikalangan kaum pedagang sekitar abad ke-17. Kaidah-kaidah hukum tersebut
sebenarnya merupakan kebiasaan diantara mereka yang muncul dalam pergaulan di
bidang perdagangan. Ada beberapa hal yang diatur dalam KUH Perdata diatur juga
dalam KUHD. Jika demikian adanya, ketenutan-ketentuan dalam KUHD itulah yang
akan berlaku. KUH Perdata merupakan lex generalis(hukum umum), sedangkan KUHD
merupakan lex specialis (hukum khusus). Dalam hubungannya dengan hal tersebut
berlaku adagium lex specialis derogat lex generalis (hukum khusus menghapus
hukum umum).
Hukum Dagang Indonesia terutama bersumber
pada :
1.
Hukum tertulis yang dikofifikasikan :
a) Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) atau Wetboek van Koophandel Indonesia (W.v.K)
b) Kitab
Undang-Undang Hukum Sipil (KUHS) atau Burgerlijk Wetboek Indonesia (BW)
2.
Hukum tertulis yang belum dikodifikasikan,
yaitu peraturan perundangan khusus yang mengatur tentang hal-hal yang
berhubungan dengan perdagangan (C.S.T. Kansil, 1985 : 7). Sifat hukum dagang
yang merupakan perjanjian yang mengikat pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.
Pada awalnya hukum dagang
berinduk pada hukum perdata. Namun, seirinbg berjalannya waktu hukum dagang
mengkodifikasi(mengumpulkan) aturan-aturan hukumnya sehingga terciptalah Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang ( KUHD ) yang sekarang telah berdiri sendiri atau
terpisah dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( KUHPer ).
Contoh
kasus hukum dagang antara Mie Sedaap dengan Mie Sedaap.
Mungkin tak banyak yang
menyadari bahwa kedua merek tersebut sebenarnya berasal dari perusahaan yang
berbeda. Produk Mie Sedaap Indofood yang pertama, dibawahi oleh perusahaan
WINGSFOOD merupakan produk dengan merek
“Mie Sedaap” yang lebih dahulu muncul. Sedangkan pesaingnya, yaitu Mi Sedaaap atau
lebih tepatnya Supermi Sedaaap (Merek Tiruan), adalah Merek yang kedua, yang
diproduksi oleh INDOFOOD. Jika di pasaran, konsumen yang kurang teliti akan
menganggap kedua produk tersebut sama karena sebenarnya kata-kata “sedap” lah
yang biasa didengar dan muncul di benak konsumen. Oleh karena itu saat mereka
melihat tulisan “sedap” yang tertera di kemasan, tanpa sempat memperhatikan
jumlah huruf “a”nya, mereka langsung membeli produk tersebut. Beberapa konsumen
menganggap ”Mie Sedaap” dan ”Supermi Sedaaap”
adalah satu produsen, apalagi Supermi bisa dikatakan sebagai induk dari
semua mi instant di Indonesia, jadi bukan suatu hal yang mustahil jika
masyarakat akhirnya lebih memilih ”Supermi” yang lebih punya nama dibandingkan
dengan ”Mie Sedaap” yang asli. Hal ini tentunya sangat merugikan WINGSFOOD
karena adanya persamaan pada pokoknya tersebut dapat berdampak pada merosotnya
omzet penjualan produk “Mie Sedaap” itu sendiri. Selain itu, juga merugikan
konsumen yang memang menggemari “Mie Sedaap” karena mereka merasa tertipu
apabila mereka salah membeli produk hanya karena tidak memperhatikan jumlah
huruf “a” pada Merek. Menurut Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek,
pada kasus ini pemilik merek dagang “Mie Sedaap” yang pertama bisa menuntut
prusahaan Supermi atas produk yang dianggap meniru produk dagangnya. Dalam
kasus ini, Supermi Sedaaap melanggar hak milik industri terkait dengan merek
produk, desain tulisan, atau kemasan yang sama atau hampir sama. Hak milik
industri ini berlaku selama 10 tahun, jika setelah jangka waktu tersebut
produsen, dalam hal ini WINGSFOOD, tidak mendaftarkan lagi produk dagangnya,
maka perusahaan lain baru bisa mengambil alih penggunaan Merek dagang tersebut.
Duduk Perkara :
1.
Produk Mie Sedap dibawahi oleh perusaan
WINGFOOD merupakan produk yang lebih dahulu muncul yakni pada tahun 2003,
sedangkan produk Supermi Sedaaaap di bawah perusahaan INDOFOOD muncul sebagai
pesaing dengan merek yang hampir serupa.
2.
PT WINGS FOOD menuntut PT INDOFOOD atas
dasar ketentuan yang terdapat dalam pasal 6 ayat (1) undang-undang No. 15 tahun
2001 tentang merek.
Analisis Kasus
Kemiripan suatu merek
produk bukan hal yang sulit kita jumpai sehari-hari. Banyak sekali merek-merek
memiliki kesamaan bentuk, warna, ciri dan sebagainya. Tentunya kemiripan merek
tersebut bukanlah tanpa alasan. Motif atau tujuan kemiripan merek biasanya
karena dengan membentuk merek yang mirip dengan suatu merek yang terkenal yang
banyak dipilih masyarakat akan mendompleng jumlah penjualan produk apakah hal
ini dapat dibenarkan dalam hukum, pertanyaan tersebut akan terjawab dengan
melihat contoh kasus kemiripan merek.
Dalam Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2001 dikenal adanya sistem perlindungan terhadap merek yaitu sistem
konstitutif, artinya adalah perlindungan hak atas merek diberikan hanya
berdasarkan adanya pendaftaran sistem ini dikenal juga dengan istilah first to
file system yang artinya perlindungan diberikan kepada siapa yang mendaftar
lebih dulu. Pemohon sesudahnya yang mengajukan merek yang sama atau mirip tidak
akan mendapat perlindungan hukum.
Terkait kemiripan merek dalam Undang-Undang Nomor I5 Tahun 2001 telah pula
diatur ketentuan merek sedemikian rupa dalam pemeriksaan pendaftaran merek untuk
mencegah hal tersebut terjadi, namun pada praktiknya masih sering timbul
beberapa masalah dalam pemeriksaan merek yang menyebabkan adanya kesamaan atau
kemiripan merek.
Pasal, 6 ayat 1 huruf (a) menyebutkan bahwa
permohonan merek harus ditolak oleh Direktorat Jendral Hak atas Kekayaan
Intelektual (DITJEN HAKI), apabila merek tersebut mempunyai persamaan pada
pokoknya atau keseluruhannya dengan merek pihak lain yang sudah terdaftar lebih
dulu untuk barang dan atau jasa sejenis. Pasal 6 ayat 1 huruf (a) tersebut
sedemikian jelas telah mengatur perlindungan hukum bagi pemegang hak atas
merek.
Selanjutnya dalam
menentukan ada tidaknya suatu persamaan dalam merek dapat dilakukan melalui
pendekatan teori. Berikut ini adalah beberapa teori mengenai persamaan merek
dianggap sama dan tidak sama, yaitu;
a.
Terdapat
persamaan keseluruhan elemen
Persamaan keseluruhan
elemen adalah standar untuk menentukan adanya persamaan dalam hal ini merek
yang diminta untuk didaftarkan merupakan hasil karya atau reproduksi merek
orang lain. Agar suat merek dapat disebut hasil karya atau reproduksi dari
merek orang lain sehingga dapat dikualifikasi mengandung persamaan secara
keseluruhan harus memenuhi syarat-syarat;
1. Terdapat
persamaan elemen merek secara keseluruhan.
Bahwa dalam merek produk barang
maupun jasa yang sejenis maupun tidak sejenis terdapat kesamaan dalam
unsur-unsur atau elemen-elemen yang terdapat dalam merek secara keseluruhan
baik dari bentuk, bunyi, penempatan, atau tata letak huruf, angka, dan gabungan
dari semua elemen-elemen tersebut.
2. Persamaan
jenis atau produksi dan kelas barang atau jasa.
Bahwa-barang yang diproduksi memiliki
kesamaan jenis dan cara memproduksi. Contohnya; jenis kesamaan merek jenis
produk minuman dan kesamaan merek jenis produk makanan.
3. Persamaan wilayah dan segmen perusahaan.
Bahwa merek barang atau jasa yang
dihasilkan memiliki persamaan dalam wilayah atau letak geografis yang sama dan
segemen merek barang yang dihasilkan ditujukan bagi masyarakat kelas menengah
ke bawah atau menengah ke atas. Contohnya ; Kopi Toraja yang berasal dari
daerah Toraja, batik Pekalongan dari Pekalongan dan lain lain.
4. Persamaan
cara dan perilaku pemakaian.
Bahwa adanya kesamaan cara dalam
memproduksi merek barang mau pun jasa.
5. Persamaan
cara pemeliharaan.
Adanya kesamaan dalam menjaga
kualitas dan kuantitas sebuah merek produk barang atau jasa.
6. Persamaan jalur pemasaran.
Bahwa dalam memasarkan merek barang
atau jasa terdapat kesamaan antara unsur-unsur dari suatu merek. Syarat-syarat
tersebut diatas bersifat kumulatif sehingga untuk menentukan adanya persamaan
harus semuanya terpenuhi. Standar penentuan berdasarkan ajaran ini dianggap
terlalu kaku dan tidak dapat melindungi kepentinagan pemilik merek khususnya
untuk merek terkenal.
b.
Persamaan
pada pokoknya
Penjelasan Pasal 6
ayat 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek menyebutkan bahwa
persamaan pada pokoknya adalah kemiripan yang disebabkan oleh adanya
unsur-unsur yang menonjol antara merek yang satu dengan merek yang lain, yang
dapat menimbulkan kesan adanya persamaan baik dalam bentuk lukisan atau
tulisan. Cara penempatan yaitu
unsur-unsur yang diatur sedemikian rupa sehingga timbul kesan sama dengan merek
orang lain, baik arti mau pun kombinasi antara unsur-unsur atau pun persamaan
bunyi dalam ucapan yang terdapat dalam merek tersebut. Permasalahan yang timbul
dalam pemeriksaan merek adalah bagaimana menerapkan ketentuan mengenai barang
dan jasa sejenis atau tidak sejenis dilihat dari ketentuan yang terdapat dalam
pasal 6 ayat 1 huruf (a). Untuk menentukan ada tidaknya suatu persamaan pada
merek selain ditentukan oleh mereknya sendiri juga ditentukan oleh jenis barang
dan jasanyanya. Suatu barang belum tentu dapat dikatakan sejenis dengan barang
tertentu lainnya meskipun berada dalam satu kelas yang sama, demikian
sebaliknya suatu barang bisa dikatakan sejenis dengan barang lainnya walaupun
berada pada kelas yang berbeda, karena keterkaitan yang sangat erat antara
kedua barang tersebut. Sejauh ini batasan mengenai merek terkenal hanya
berdasarkan kriteria penggolongan sebagai berikut;
1. Reputasi
merek tersebut tidak harus terbatas pada produk tertentu atau jenis produk
memiliki kualitas stabil dari waktu ke waktu, dapat dipertahankan di berbagai
negara serta memiliki pendaftaran di beberapa negara.
2. Perlindungan
diberikan dalam hubungan pemakaian secara umum dan tidak hanya berhubungan
dengan jenis barang-barang dimana merek tersebut didaftarkan.
3. Faktor
pengetahuan masyarakat mengenai merek tersebut dibidang usaha yang bersangkutan
yang dapat diketahui dari adanya promosi yang dilakukan dengan gencar dan
besar-besaran, adanya investasi di beberapa negara yang dilakukan oleh
pemiliknya, disertai dengan adanya bukti pendaftaran merek tersebut di beberapa
negara.
Persamaan merek dan jenis
barang serta kriteria merek terkenal sering menimbulkan masalah dalam
pemeriksaan merek. Selain karenatidak adanya ketentuan yang memberikan pedoman
yang pasti pada pemeriksaan merek juga karena sifatnya sangat subyektif
sehingga untuk menentukan arti yang sebenarnya dari persamaan pada pokoknya
dari suatu merek barang atau jasa bergantung pada penafsiran dan penilaian yang
berbeda dari masing-masing individu. Keadaan ini menyebabkan munculnya putusan-putusan yang kurang konsisten
mengenai kasus-kasus yang serupa.
Persamaan merek
disebabkan oleh faktor-faktor tertentu yaitu;
1.
Mengangkat nilai jual suatu barang dengan
meniru produk lain yang sejenis yang lebih terkenal dan laku produknya untuk
mendapatkan keuntungan yang besar.
2.
Lemahnya aturan mengenai merek dalam hal
ini Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek khususnya penafsiran terhadap
pasal 6 ayat 1 sehingga memberikan kesempatan kepada setiap orang atau badan
usaha untuk meniru produk lain yang sejenis.
3.
Lemahnya kesadaran untuk mendaftarkan
merek hasil karya atau produksi.
4.
Lemahnya kesadaran hukum masyarakat untuk
menghargai merek hasil karya orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar