A.
HUBUNGAN USAHA MENURUT SYARIAH
Kegiatan usaha pada
hakekatnya adalah kumpulan transaksi-transaksi ekonomi yang mengikuti suatu
tatanan tertentu. Dalam Islam, transaksi utama dalam kegiatan usaha adalah
transaksi riil yang menyangkut suatu obyek tertentu, baik obyek berupa barang
ataupun jasa. Menurut Ibnu Khaldun tingkatan kegiatan usaha manusia dimulai
dari kegiatan usaha yang berkaitan dengan hasil sumber daya alam, misalnya
pertanian, perikanan dan pertambangan. Tingkatan berikutnya adalah kegiatan
yang berkaitan dengan hasil rekayasa manusia atas hasil sumber daya alam.
Dilanjutkan dengan kegiatan perdagangan yang secara alami timbul akibat
perbedaan penawaran-permintaan dari hasil sumber daya alam maupun hasil
rekayasa manusia pada suatu tempat. Dan akhirnya adalah kegiatan usaha jasa
yang timbul karena manusia menginginkan sesuatu yang tidak bisa atau tidak mau
dilakukannya yang oleh Ibnu Khaldun disebut sebagai kemewahan.
Manusia mempunyai
keterbatasan dalam berusaha, oleh karena itu sesuai dengan fitrahnya- manusia
harus berusaha mengadakan kerjasama di antara mereka. Kerjasama dalam usaha yang
sesuai dengan prinsip-prinsip Syariah pada dasarnya dapat dikelompokkan ke
dalam:
1.
Kerjasama dalam kegiatan usaha, dalam hal
ini salah satu pihak dapat menjadi pemberi pembiayaan dimana atas manfaat yang
timbul dari pembiayaan tersebut dapat dilakukan bagi hasil. Kerjasama ini dapat
berupa pembiayaan usaha 100% melalui ikatan atau aqad Mudharaba maupun
pembiayaan usaha bersama melalui aqad Musyaraka.
2.
Kerjasama dalam perdagangan, dimana untuk
meningkatkan perdagangan dapat diberikan fasilitas-fasilitastertentu dalam
pembayaran maupun penyerahan obyek. Karena pihak yang mendapat fasilitas akan
memperoleh manfaat, maka pihak pemberi fasilitas berhak untuk mendapat bagi
hasil (keuntungan) yang dapat berbentuk harga yang berbeda dengan harga tunai.
3.
Kerjasama dalam penyewaan aset dimana
obyek transaksi adalah manfaat dari penggunaan aset.
B. PRINSIP AQAD EKONOMI SYARIAH
Kegiatan hubungan manusia
dengan manusia (muamalah) dalam bidang ekonomi menurut Syariah harus memenuhi
rukun dan syarat tertentu. Rukun adalah sesuatu yang wajib ada dan menjadi
dasar terjadinya sesuatu, yang secara bersama-sama akan mengakibatkan
keabsahan. Rukun transaksi ekonomi Syariah adalah:
1.
Adanya pihak-pihak yang melakukan
transaksi, misalnya penjual dan pembeli, penyewa dan pemberi sewa, pemberi jasa
dan penerima jasa.
2.
Adanya barang (maal) atau jasa (amal) yang
menjadi obyek transaksi.
3.
Adanya kesepakatan bersama dalam bentuk
kesepakatan menyerahkan (ijab) bersama dengan kesepakatan menerima (kabul).
Disamping itu harus pula
dipenuhi syarat atau segala sesuatu yang keberadaannya menjadi pelengkap dari
rukun yang bersangkutan. Contohnya syarat pihak yang melakukan transaksi adalah
cakap hukum, syarat obyek transaksi adalah spesifik atau tertentu, jelas
sifat-sifatnya, jelas ukurannya, bermanfaat dan jelas nilainya.
Obyek transaksi menurut
Syariah dapat meliputi barang (maal) atau jasa, bahkan jasa dapat juga termasuk
jasa dari pemanfaatan binatang. Pada prinsipnya obyek transaksi dapat dibedakan
kedalam:
1.
Obyek yang sudah pasti (ayn), yaitu obyek
yang jelas keberadaannya atau dapat segera diperoleh manfaatnya. Lazimnya
disebut real asset dan berbentuk barang atau jasa.
2.
Obyek yang masih merupakan kewajiban
(dayn), yaitu obyek yang timbul akibat suatu transaksi yang tidak tunai.
Lazimnya disebut financial asset dan dapat berupa uang atau surat berharga.
Aqad muamalah dalam
bidang ekonomi menurut sifat partisipasi dari para pihak yang terlibat dalam
transaksi secara prinsip dapat dibagi dalam:
1.
Aqad pertukaran tetap, yang lazimnya
adalah kegiatan perdagangan. Sesuai dengan sifatnya, aqad ini umumnya
memberikan kepastian hasil bagi para pihak yang melakukan transaksi.
2.
Aqad penggabungan atau pencampuran, yang
lazimnya adalah kegiatan investasi. Aqad ini umumnya hanya memberikan kepastian
dalam hubungan antar pihak dan jangka waktu dari hubungan tersebut, namun
umumnya tidak dapat memberikan kepastian hasil.
3.
Kegiatan penguasaan sementara, yang
lazimnya adalah kegiatan sewa-menyewa.
Aqad ini umumnya memberikan
kepastian dalam manfaat yang diterima oleh para pihak. Sehingga dapat terjadi
pertukaran maupun penggabungan atau pencampuran antara ayn dengan ayn, ayn
dengan dayn dan dayn dengan dayn. Hanya menurut fiqih muamalah transaksi antara
dayn dengan dayn dilarang kecuali kegiatan penukaran uang atau logam mulia.
Kegiatan muamalah dalam bidang ekonomi melalui pasar modal umumnya adalah
kegiatan pertukaran tetap (perdagangan) dan kegiatan penggabungan atau
pencampuran (investasi). Sementara itu, waktu pertukaran maupun penggabungan
atau pencampuran dapat terjadi secara tunai atau seketika (naqdan)maupun secara
tidak tunai atau tangguh (ghairu naqdan).
Transaksi keuangan
umumnya timbul akibat transaksi yang berlaku secara tidak tunai atau tangguh.
Hanya menurut fiqih muamalah, dilarang atau tidak sah suatu transaksi dimana
kedua belah pihak melakukan secara tidak tunai atau tangguh (ghairu naqdan
dengan ghairu naqdan) Dalam menerapkan aqad-aqad ini pada transaksi keuangan
modern, Vogel dan Hayes mengatakan bahwa terdapat 4 prinsip dalam perikatan
secara Syariah yang perlu diperhatikan, yaitu:
1.
Tidak semua aqad bersifat mengikat kedua
belah pihak (aqad lazim), karena ada kontrak yang hanya mengikat satu pihak
(aqad Jaiz).
2.
Dalam melaksanakan aqad harus dipertimbangkan
tanggung jawab yang berkaitan dengan kepercayaan yang diberikan kepada pihak
yang dianggap memenuhi syarat untuk memegang kepercayaan secara penuh (amin)
dengan pihak yang masih perlu memenuhi kewajiban sebagai penjamin (dhamin).
3.
Larangan mempertukarkan kewajiban (dayn)
melalui transaksi penjualan sehingga menimbulkan kewajiban (dayn) baru atau
yang disebut al dayn bi al dayn.
4.
Aqad yang berbeda menurut tingkat
kewajiban yang masih bersifat janji (wad) dengan tingkat kewajiban yang berupa
sumpah (ahd).
Akad Tabaru
Akad tabarru’ (gratuitos
contract) adalah segala macam perjanjian yang menyangkut non profit
transaction (transaksi nirlaba).
Transaksi ini pada hakikatnya bukan transaksi bisnis untuk mencari keuntungan
komersil.
Akad tabarru’ dilakukan
dengan tujuan tolong menolong dalam rangka berbuat kebaikan (tabarru’ berasal
dari kata birr dalam bahasa arab, yang artinya kebaikan.
Dalam Akad tabarru’,
pihak yang berbuat kebaikan tersebut tidak berhak mensyaratkan imbalan apapun
kepada pihak lainnya. Imbalan dari akad tabarru’ adalah dari Allah Swt bukan
dari manusia. Namun demikian, pihak yang berbuat kebaikan tersebut boleh
meminta kepada counter part-nya untuk sekadar menutupi biaya (cover the cost)
yang dikeluarkannya untuk dapat melakukan akad tabarru’ tersebut. Namun ia
tidak boleh sedikitpun mengambil laba dari akad tabarru’ itu.
Contoh akad-akad tabarru
adalah qardh, rahn, hiwalah, wakalah, kafalah, wadi’ah, hibah, waqf, shadaqah,
hadiah,dll. (Karim : 2006,70)
Pada hakikatnya, akada tabarru’ adalah akad
melakukan kebaikan yang mengharapkan balasan dari Allah swt semata. Itu
sebabnya akad ini tidak bertujuan mencari keuntungan komersil.
Konsekuensi logisnya, bola akad
tabarru’ dilakukan dengan mengambil keuntungan komersil, maka ia bukan lagi
akad tabarru’ maka berubah menjadi akad tijarah. Bila ingin tetap menjadi akada
tabarru’, maka ia tidak boleh mengambil manfaat dari akad tabarru’ tersebut.
Tentu saja ia tidak berkewajiban menanggung biaya yang timbul dari pelaksanaan
akad tabarru’.
Akad Ijarah
Ijarah adalah penjualan
manfaat atau salah satu bentuk aktivitas antara dua belah pihak yang berakad
guna meringankan salah satu pihak atau saling meringankan, serta termasuk salah
satu bentuk tolong-menolong yang dianjurkan agama.
Menurut bahasa, Ijarah berasal dari kata al–ajru yang artinya
adalah al-iwadh dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai ganti dan upah Dalam
arti luas, ijarah adalah suatu akad yang berisi penukaran manfaat sesuatu
dengan jalan memberikan imbalan dalam
jumlah tertentu. Dalam Fikih Islam, ijarah
yaitu memberikan sesuatu untuk disewakan. Menurut fatwa DSN ijarah
didefinisikan sebagai akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang
dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan
barang itu sendiri.
Landasan
hukum :
1. QS. Al-Zukhruf: 32
“Apakah mereka yang
membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan
mereka dalam kehidupan di dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka
atas sebagian yang lain beberapa derajat agar sebagian mereka dapat
mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik daripada apa
yang mereka kumpulkan.”
2. QS. Al-Qashash: 26-27
“Salah seorang dari dua
orang wanita itu berkata; Ambillah ia sebagai orang yang bekerja pada kita,
karena sesungguhnya orang yang paling baik kamu ambil untuk bekerja ialah orang
yang kuat lagi dapat dipercaya. Berkata ia (Nabi Syuaib); Sesungguhnya aku
bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari dua orang anakku ini atas
dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun, dan jika kamu cukupkan sepuluh
tahun maka hal itu adalah kebajikan darimu, dan aku tidak bermaksud memberatkan
kamu, dan insya Allah kamu akan mendapatkan aku termasuk ke dalam kelompok
orang-orang yang baik”
3. Hadits Rasulullah yang diriwayatkan Ibnu
Majah:
“Berikanlah upah kepada
orang yang kamu pakai tenaganya sebelum keringatnya kering.”
Syarat Ijarah:
1. Kedua
orang yang berakad harus baligh dan berakal
2. Menyatakan
kerelaannya untuk melakukan akad ijarah
3. Manfaat
yang menjadi objek ijarah harus diketahui secara sempurna
4. Objek
ijarah boleh diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak bercacat
5. Objek
ijarah sesuatu yang dihalalkan oleh syara’ dan merupakan sesuatu yang bisa
disewakan
6. Yang
disewakan itu bukan suatu kewajiban bagi penyewa
7. Upah/sewa
dalam akad harus jelas, tertentu dan sesuatu yang bernilai harta.
Dalam hal sewa-menyewa atau kontrak tenaga
kerja, maka haruslah diketahui secara jelas dan disepakati bersama sebelumnya:
1.
Jenis pekerjaan, dan jumlah jam kerjanya
setiap harinya.
2.
Berapa lama masa kerja. Haruslah
disebutkan satu atau dua tahun.
3.
Berapa gaji dan bagaimana sistem pembayarannya,
harian, bulanan, mingguan ataukah borongan?
Tunjangan-tunjangannya harus disebutkan
dengan jelas. Misalnya besarnya uang transportasi, uang makan, biaya kesehatan, dan lain-lainnya.
Rukun Ijarah:
1.
Mu’jar(orang/barang yang disewa)
2.
Musta’jir (orang yang menyewa)
3.
Sighat (ijab dan qabul)
4.
Upah dan manfaat.
Objek ijarah adalah berupa barang modal
yang memenuhi ketentuan, antara lain:
1.
Objek ijarah merupakan milik dan/atau
dalam penguasaan perusahaan pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir)
2.
Manfaat objek ijarah harus dapat dinilai;
3.
Manfaat objek ijarah harus dapat
diserahkan penyewa (musta’jir);
4.
Pemanfaatan objek ijarah harus bersifat
tidak dilarang secara syariah (tidak diharamkan);
5.
Manfaat objek ijarah harus dapat
ditentukan dengan jelas;
6.
Spesifikasi objek ijarah harus dinyatakan
dengan jelas, antara lain melalui identifikasi fisik, kelayakan, dan jangka
waktu pemanfaatannya.
Fikih muamalat Islam
membedakan antara wa’ad dengan akad. Wa’ad adalah janji (promise) antara satu pihak kepada pihak lainnya, sementara akad adalah
kontrak antara dua belah pihak. Wa’ad hanya mengikat satu pihak, yakni pihak
yang memberi janji berkewajiban untuk melaksanakan kewajibannya. Sedangkan
pihak yang diberi janji tidak memikul kewajiban apa-apa terhadap pihak lainnya.
Dalam wa’ad, terms and condition-nya belum ditetapkan secara rinci dan spesifik
(belum well defined). Bila pihak yang
berjanji tidak dapat memenuhi janjinya, maka sanksi yang diterimanya lebih
merupakan sanksi moral.
Akad merupakan suatu
kesepakatan yang mengikat kedua belah pihak yang saling bersepakat, yakni
masing-masing pihak terikat untuk melaksanakan kewajiban mereka masing-masing
yang telah disepakati terlebih dahulu. Dalam akad, terms and condition-nya
sudah ditetapkan secara rinci dan spesifik (sudah well-defined). Bila salah satu atau kedua pihak yang terikat dalam
kontrak itu tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka ia/mereka menerima sanksi
seperti yang sudah disepakati dalam akad.
Dalam bank syariah, akad
yang yang dilakukan memiliki konsekwensi duniawi dan ukhrowi, karena akad yang
dilakukan berdasarkan hukum islam. Sehingga kesepakatan dapat diminimalisir.
Selain itu akad dalam perbankan syariah baik dalam hal barang, pelaku
transaksi, maupun ketentuan lainnya harus memenuhi ketentuan akad, seperti
hal-hal berikut.
a)
Rukun, seperti penjual, pembeli, barang,
harga dan ijab qabul.
b)
Syarat, seperti:
1. Barang dan jasa harus halal.
2. Harga
barang dan jasa harus jelas
3. Tempat
penyerahan harus jelas.
4. Barang
yang ditransaksikan harus sepenuhnya dalam kepemilikan.
Dari uarian diatas akad
dan legalitas sebuah lembaga keungan syariah dan konvensional itu berbeda
dimana akad dalam bank syariah itu memberikan nilai dunia dan ahirat karena
disitu menentukan langkah yang akan dilakukan oleh sesorang. Sementara dalam
konvensional hanya akan memberikan sanki moral sesuai dengan yang sudah
disepakati di awal.